Tanda Tanya (?)

Baby Julia
5 min readMar 13, 2023

--

Harusnya waktu itu, aku tidak jatuh hati padanya.

Harusnya waktu itu, aku tidak membencinya pada pandangan pertama.

Harusnya waktu itu, aku tidak memandang matanya terlalu dalam.

Harusnya waktu itu, aku tidak mengingatnya sebagai orang yang menyebalkan.

Harusnya waktu itu, aku tetap menaruh hati pada orang lain saja.

Harusnya waktu itu, aku tidak memulai cerita yang aku sudah tahu akhirnya.

Aku tak ingat waktu pertama kali menyukainya, mungkin aku belum sadar. Atau belum percaya seutuhnya?

Apa aku sudah menyukainya sejak aku mendeklarasikan bahwa aku membencinya?

Apa saat dia pertama kali mengataiku lalu aku sebal dengan sikapnya? Padahal aku tahu dia cuma bercanda.

Apa saat pertama kali dia menatapku dengan sangat dalam sehingga aku tak tahu apa arti tatapannya itu? Apa hanya aku yang menganggapnya begitu? Apa dia memang menatap semua orang dengan tatapan tersebut? Jika iya, maka aku sepertinya terhipnotis dengan tatapannya.

Oh, Semesta, tatapan macam apa yang Kau berikan untuknya, sampai aku bisa jatuh sejatuh-jatuhnya.

Aku suka sekali matanya. Tatapannya itu sungguh murni. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat orang lain memiliki tatapan seperti itu.

Aku sering sekali berpikir untuk mencuri kedua matanya lalu menyimpannya sendiri. Terdengar mengerikan, bukan? Katakanlah aku psikopat. Karena aku sendiri pun menganggap diriku begitu.

Mungkin aku jatuh hati saat pertama kali aku berinteraksi dengannya. Entahlah, aku merasa jika kita tak berinteraksi pun, aku tetap akan jatuh. Jatuh ke dalam jurang yang aku tahu apa isi paling dalamnya.

Aku menolak untuk sadar. Menolak untuk percaya bahwa aku menyukainya. Entah sudah berapa kali teman-temanku bilang bahwa aku sudah menyukainya, namun aku tetap mengatakan ‘tidak’.

Kira-kira faktor apa yang membuat aku menolak untuk sadar dan percaya? Apa karena aku sudah tahu akhirnya duluan? Karena aku sudah tahu lika-liku apa yang akan kualami jika aku benar menyukainya? Karena jika aku menyadari aku menyukainya, aku malah tidak akan berhenti?

Yah, dari awal pun kalau bisa, aku tidak ingin menyukainya sedalam ini.

Kalau.., bisa.

Jawabannya tak bisa. Sekeras apapun aku menolak, faktanya sudah terlihat jelas. Faktanya, perasaan selalu lebih dahulu sebelum logika.

Aku tahu pasti alasan aku tetap jatuh walau aku tidak menyukai jurang itu. Alasannya simpel, karena aku sudah lebih dulu melihat akhirnya.

Iya, akhir bahagia dan akhir menyakitkan.

Semua orang pasti ingin akhir bahagia, begitupun aku. Namun aku bisa berharap apa, aku pasti mendapat akhir menyakitkan.

Sudahlah, jangan menyuruhku untuk optimis. Manusia yang dari kecilnya selalu pesimis ini terlalu malas untuk mengubah kebiasaannya. Keras kepala. Belum ada yang bisa mengubah pemikiranku ini.

Kalau aku bilang aku tidak menyukainya, maka pernyataan itu salah. Aku hanya tidak menyukai keadaan yang mempersulit kami. Keadaan yang.., sangat sulit untuk diubah.

Entah. Walau aku sudah tahu keadaan itu akan menyulitkanku, aku tetap menyukainya. Aku suka hal yang menantang, tapi kadang aku juga tak suka hal itu. Aneh. Manusia satu ini aneh.

Haha, aku jadi ingat dia juga bilang bahwa aku ini aneh.

“Kamu anehhh,” katanya.

Perkataan dia benar. Aku ini aneh. Dikatai aneh malah tidak marah. Ada orang gila yang kalau dibilang aneh malah suka, dan itu aku.

Coba saja aku boleh egois. Aku ingin dia hanya menyukaiku. Aku tidak ingin melihat dia bersama orang lain. Aku tidak ingin berhenti berinteraksi dengannya. Aku ingin mendengar suaranya setiap hari. Bercanda, saling mengatai, melakukan hal-hal yang biasa kami lakukan.

Lagipula, siapa yang tidak akan egois jika menyangkut soal orang yang disukainya? Apalagi jika menemukan perbedaan yang memecahkan, maka orang tersebut akan berusaha supaya perbedaan itu tidak benar-benar memisahkan mereka.

Sama halnya dengan diriku. Aku ingin mengubah keadaan kami, tapi aku tak tahu caranya. Lebih tepatnya, tak bisa.

Padahal, cinta diciptakan untuk menyatukan perbedaan. Namun perbedaan aku dan dia ini.., bukan sekadar ‘perbedaan’ saja.

Apa harusnya aku memilih kata lain? Keragaman di antara kami? Warna kami yang tak serupa? Ya, mari katakan seperti itu.

Kembali lagi ke awal, kenapa aku memilih untuk tenggelam daripada berenang ke dasar lalu menyelamatkan diri?

Kenapa aku memilih untuk jatuh ke jurang, padahal aku bisa berpegangan pada batu atau hal lainnya?

Sudah tahu tenggelam, sudah tahu jatuh, kenapa tidak berusaha untuk selamat dari keadaan itu?

Bodoh. Diriku ini sangat bodoh.

Marilah katakan perasaan kami sama. Lalu selanjutnya apa? Tetap ada keragaman di antara kami. Justru itu yang menghambat kisahnya. Aku tak tahu cara menaruh ‘ending’ yang baik untuk kami berdua.

Aneh. Padahal aku selalu menulis ending duluan setiap menulis cerita. Tapi entah kenapa aku tidak bisa menulis ending pada ceritaku yang ini. Apa aku keberatan dalam menulisnya? Tidak ikhlas?

Tumben. Biasanya aku selalu suka dengan ending cerita yang sedih, menyakitkan. Tapi aku malah tak suka jika ending tersebut dipakai untuk ending ceritaku dengannya.

Sungguh aneh. Dulu jauh sebelum aku menyukainya, aku pernah menyukai orang lain. Dan aku dengan mudahnya menaruh ending sedih atau menyakitkan pada ceritanya. Tapi kenapa kali ini tidak bisa?

Aku tidak tahu sudah berapa tanda tanya yang aku pakai di tulisan ini. Tak terhingga. Baru dia yang membuatku bertanya-tanya sampai segininya. Yah, ending kita juga masih tanda tanya, bukan?

Apa endingnya sudah terlihat tapi aku saja yang menambahkan tanda tanya di akhir?

Haha.., kan, malah menolak untuk sadar.

Aku biasanya bisa melihat masa depan di mata orang. Tapi entah kenapa, aku tak bisa melihat diriku di matanya saat masa depan. Mungkin, dia hanya akan jadi masa laluku yang indah saja.

Setidaknya aku menuliskannya, dan dia tahu bahwa aku suka menulis. Pertanyaannya, apa dia akan membaca tulisanku yang tentangnya ini? Semoga saja tidak. Karena dia takkan suka dengan endingnya.

Waktu itu aku pernah bertanya, “Menurutmu endingnya harus bahagia atau sedih?”

“Ya.., bahagia dong. Masa sedih?” jawabnya.

“Tapi aku suka ending yang sedih.”

“Bahagia, lah.”

Dia saja yang tidak tahu, bahwa cerita aku dan dia takkan pernah berakhir bahagia.

Eh, bisa saja sih berakhir bahagia. Maksudnya dia berakhir bahagia dengan pasangannya, dan pasangannya itu bukan aku.

Matanya akan selalu indah. Tapi di matanya, aku tidak selamanya ada.

Ya sudah, biarkan saja Semesta yang menjawab apa ending cerita kami. Aku hanya bisa berharap, ending tersebut setidaknya bisa baik kalau tidak bisa bahagia.

Setidaknya jika kita tak berakhir bersama, dia harus tahu satu hal. Bahwa di cerita ini, dari awal hingga akhir, aku selalu menyukainya. Hanya. Di. Cerita. Ini.

Semesta, jika dia memang bukan untukku, maka biarkanlah. Aku hanya ingin menyukainya, bukan merebutnya dari-Mu.

— K.

--

--

Baby Julia
Baby Julia

Written by Baby Julia

sometimes sad endings are much better than happy endings, right?

No responses yet