Tempat Pulang (Cerita Pendek)

Baby Julia
17 min readAug 11, 2021

--

Ke mana aku pulang? Apakah aku punya tempat pulang yang baik untukku?

Tempat pulang. Ketika kamu mendengar kata-kata itu, apa yang langsung ada di pikiranmu? Pasti kamu langsung berpikir kalau tempat pulang adalah ‘rumah’ kan? Yang ada di pikiranku saat mendengar kata itu adalah, bingung.

Bingung apa arti dari tempat pulang. Apa makna sebenarnya dari tempat pulang? Apa tempat pulang itu benar-benar ada? Apakah tempat pulang itu selalu ke ‘rumah’? Lalu seperti apa bentuk dari ‘rumah’ itu sehingga bisa dijadikan tempat pulang?

Namaku Nandyra, seorang gadis biasa yang hidupnya dipenuhi oleh pertanyaan. Orang yang tak pernah lelah sekaligus gigih dibandingkan dengan orang-orang lain. Orang yang menuntut kesempurnaan dalam segala hal. Banyak orang yang berkata seperti itu padaku. Dan bahkan aku juga merasa begitu.

Nandyra artinya rumah. Aku tak tahu mengapa orang tuaku memberi namaku seperti itu, mungkin mereka berharap agar aku menemukan ‘rumah’ yang baik untukku, dan berharap agar aku juga bisa menjadi ‘rumah’ yang baik untuk semua orang. Jadi, pertanyaanku di sini adalah, apakah aku bisa menjadi seperti apa yang orang tuaku harapkan? Seperti apa bentuk ‘rumah’ yang baik? Apa aku juga punya itu?

Rumah. Rumah itu apa sih arti sebenarnya? Rumah artinya tempat tinggal, lebih tepatnya bangunan untuk tempat tinggal. Tapi bagiku, rumah bukanlah tempat tinggalku. Iya, bangunan tempat tinggalku tidak bisa kukatakan rumah, karena aku tidak pernah pulang ke sana. Mungkin hanya ragaku yang pulang ke sana, namun jiwaku tidak. Aku tidak bisa menjadikan itu tempat pulang karena aku memang tak menganggapnya tempat pulang. Iya, aku memang tinggal di sana, tapi aku tidak pernah benar-benar pulang ke sana. ‘Rumah’ ini tidak bisa dijadikan tempat pulang, bahkan tidak akan pernah bisa. Mungkin ‘rumah’ ini hanya bisa jadi tempat ragaku pulang.

Lalu, kalau aku tidak bisa menjadikan itu tempat pulangku, apa yang harus kujadikan tempat pulang?

Rumah tidak selalu berarti sebuah bangunan, kan? Rumah itu bisa merupakan seorang manusia, kan? Bentuk dari tempat pulang tidak hanya satu. Tempat pulang itu bisa tempat, seseorang atau sesuatu yang bisa kita jadikan tempat pulang untuk bercerita. Tempat di mana kita bisa benar-benar menjadi diri sendiri. Tempat di mana raga dan jiwa kita pulang. Kalau begitu, apa yang bisa kujadikan tempat pulang? Di mana tempat raga dan jiwaku benar-benar pulang?

Keluarga? Ayah? Ibu? Kakak atau Adik? Bisakah keluarga kujadikan tempat pulang? Sepertinya tidak. Dari dulu, aku tidak pernah pulang pada mereka. Aku tidak pernah menjadikan mereka atau salah satu dari mereka tempat pulangku. Kenapa? Ya, karena aku tidak bisa saja. Aku tidak bisa menjadikan mereka sebagai tempat aku bercerita. Aku tidak bisa menjadi diri sendiri saat bersama mereka.

Aneh ya, padahal kebanyakan orang menganggap keluarga mereka adalah tempat pulang, sedangkan aku tidak. Menurutku, itu adalah suatu hal yang keren. Contohnya salah satu temanku, Zivana namanya. Waktu itu aku pernah bertanya padanya, “Tempat pulangmu apa, Ziv? Atau kamu menjadikan seseorang tempat pulangmu?”

Dia menjawab, “Tempat pulangku? Tempat pulangku ya, rumah. Papah, ibu, adikku.” Aku yang mendengarnya hanya terdiam, lalu langsung menatapnya datar. “Jadi, tempat pulangmu adalah keluargamu?”

“Iya. Tapi menurutku rumah tiap orang beda-beda, belum tentu ayah-ibunya itu tempat pulang.”

Zivana mengatakan itu seolah-olah tahu kalau tempat pulangku bukan keluargaku, padahal aku tidak pernah menceritakan apapun padanya. Aku mencerna perkataan Zivana, dia ada benarnya. Rumah tiap orang itu berbeda, dan belum tentu ayah-ibunya bisa dijadikan tempat pulang. Zivana beruntung, dia bisa menjadikan ayah-ibunya tempat pulang. Tapi bagiku, tidak semudah itu. Sejak dulu, aku selalu tertutup kalau sedang bersama mereka. Aku tidak begitu dekat dengan mereka, walaupun mereka orang tuaku sendiri.

Ayah? Aku hanya mengatakan hal-hal positif padanya. Aku tidak pernah mengatakan kekesalanku, atau hal-hal buruk yang terjadi padaku. Aku tidak mau dia khawatir, oleh sebab itu aku tertutup di depannya. Ibuku? Sama halnya juga. Tapi aku lebih dekat dengan ayahku daripada ibuku. Dia tidak pernah penasaran akan diriku, apa yang terjadi padaku, bagaimana kehidupanku, dia seakan tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya pekerjaannya. Kalau dia tiba-tiba bertanya tentangku, aku hanya menjawab seadanya. Karena apa yang harus kukatakan padanya kalau dia saja tidak peduli? Ayah juga sibuk bekerja, tapi dia tetap peduli padaku walau hanya sedikit.

Bagaimana bisa aku menjadikan mereka tempat pulang? Kalau aku menjadikan mereka tempat pulang, apakah mereka akan menyambutku dengan perasaan bahagia? Dengan lapang dada? Aku tidak yakin soal itu.

Sejak dulu, aku belajar untuk memendam perasaan. Iya, perasaan apapun itu. Perasaan bahagia, sedih, takut, kesal, khawatir, dan sebagainya. Aku belajar untuk memendam apapun yang kurasakan. Menyimpannya sendirian dan tidak mengatakannya pada siapa-siapa. Kalau aku bahagia, aku akan menyimpannya sendirian, karena tidak ada orang yang ingin turut merasakan kebahagiaanku. Kalau aku sedih, aku juga menyimpannya, karena tidak ada yang ingin mendengar cerita sedihku ini. Kalau aku kesal, aku berusaha menyimpan kekesalan itu, karena aku akan meledak jika aku mengeluarkannya. Sama halnya dengan perasaan suka, kalau aku menyukai seseorang, aku akan memendamnya. Karena orang yang kusuka juga tidak akan ingin tahu, begitupun orang lain.

Orang yang kusuka bernama Faris. Dia orang yang sangat berbeda denganku. Orang yang ramah tapi simpel. Dia orang yang tidak ingin banyak tahu tentang apapun. Orang yang tidak penasaran akan apapun. Bagaimana aku memberitahu perasaanku kalau dia saja tidak akan penasaran tentangku? Lagi pula, dari dulu aku selalu memendam perasaan, jadi tidak apa-apa.

Selama dekat dengannya, aku merasakan sesuatu yang baru. Yang dinamakan kata ‘nyaman’. Aku nyaman bersamanya, seperti berada di sebuah tempat yang sejuk dengan banyak pepohonan di sekitarnya. Dia adalah sebuah pemandangan yang indah. Lalu kupikir, bisakah dia kujadikan rumah? Bisakah dia kujadikan tempat pulangku?

Tidak-tidak. Tidak bisa. Tidak mungkin. Dia kan, orang yang tidak ingin banyak tahu dan penasaran tentang apapun. Dia tak mungkin menerimaku semudah itu. Dia tak mungkin mau kujadikan tempat pulang. Siapa yang ingin orang rumit sepertiku ini? Siapa yang ingin berteman dengan orang yang punya banyak pertanyaan sepertiku ini? Apalagi pertanyaan-pertanyaannya sangat tidak penting dan tidak logis. Pasti tidak ada yang mau.

Namun semua itu berubah sejak aku bertemu dengan seseorang. Seseorang yang merubah hidupku seluruhnya. Seseorang yang sangat berbeda dari orang-orang lainnya. Orang itu adalah satu-satunya yang ingin mengerti keadaan diriku. Orang yang membuat diriku mengerti arti dari kehidupan. Orang yang merubah cara pandangku terhadap kehidupan. Orang yang mengajarkanku kalau hidup bukan hanya soal kesedihan, tapi juga tentang kebahagiaan.

Dia adalah orang yang membuatku mengerti arti bahagia, arti kesedihan, dan juga arti sebuah tempat pulang. Sejak aku menemukannya, aku merasa seperti aku adalah salah satu orang yang beruntung. Tuhan memberiku seseorang yang sebelumnya tak pernah kusangka-sangka. Siapa dia? Dia adalah sahabat sejatiku, Eva.

Mungkin bagi banyak orang, Eva adalah orang biasa. Dia seperti manusia-manusia lainnya, tidak ada spesialnya. Namun menurutku, dia adalah orang yang sangat spesial. Bahkan aku bisa bilang dia adalah sebagian dari diriku, karena tanpanya, aku seperti tidak hidup. Mungkin salah satu alasan aku masih hidup hari ini karena ada Eva. Kedengarannya tidak masuk akal, bukan? Memang benar begitu.

Eva mengajarkanku arti dari sebuah tempat pulang. Dia merubah cara pandangku terhadap sebuah tempat pulang. Dulu kupikir, tempat pulang adalah rumahku sendiri, ternyata tidak. Dia bilang, tempat pulang adalah tempat di mana tujuan kita berada. Karena sejauh-jauhnya kita pergi, pulang adalah selalu tujuan kita. Tujuan kita sebenar-benarnya adalah pulang, bukan pergi. Lantas, di mana aku menemukan tempatku berpulang?

Selama ini, jika aku pergi, aku selalu tidak pulang. Karena aku tidak punya tempat pulang, dan tidak ada yang menungguku pulang. Mungkin dahulu aku punya tempat pulang, tapi sekarang tidak. Jika sedang ingin melarikan diri, aku pergi entah ke mana, karena aku tak punya tempat tujuan. Aku tak tahu di mana tempatku pulang. Semua itu berakhir saat aku bertemu dengannya. Saat pertama kali bertemu dia, aku langsung tahu, kalau dia adalah.. tempat pulangku.

Entah kenapa aku berpikir seperti itu, padahal sebelumnya aku tak pernah menganggap siapapun sebagai tempat pulangku. Aku saja tak bisa menganggap keluargaku atau Faris sebagai tempat pulangku, kenapa dia bisa? Entah. Memang aku lebih nyaman bersamanya daripada saat bersama Faris, aku bisa lebih terbuka di depannya.

Kenapa aku bisa lebih dekat dengannya daripada dengan orang tuaku? Lucu rasanya ketika ikatan darah itu tak lagi memiliki arti, jika nyatanya bersama orang asing jauh terasa lebih aman dan menyenangkan hati. Padahal aku sama sekali tidak punya ikatan darah dengan Eva, tapi kenapa aku merasa terikat dengannya? Seperti aku memang ditakdirkan bersamanya. Aku seperti menjadi diriku sendiri saat bersamanya. Kalau dipikir-pikir, ini lucu sekali.

Aku pernah bilang padanya, “Ke mana pun aku pergi, tempat pulangku selalu kamu, dan akan selalu kamu.”

“Kamu ingin pergi?”
“Eva, tentu aku nggak ingin pergi, karena kalau aku pergi, berarti aku jauh darimu. Aku tidak ingin itu.”
“Kamu selalu bilang akan pergi. Memang dari awal kamu ingin pergi dan meninggalkanku, kan?”
“Enggak, Eva. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu kan pernah bilang padaku, sejauh-jauhnya kita pergi, pulang adalah selalu tujuan kita. Tujuanku adalah kamu, lebih tepatnya kamu adalah tempat pulangku.”

Dia diam, tidak berkutik sama sekali. Dia pasti selalu tidak bisa menjawab perkataanku kalau membahas tentang ini. Entah dia benar tidak bisa menjawabnya atau memang tak ingin membahasnya lagi. Topik tentang pergi dan pulang selalu jadi topik yang paling kuhindari, mungkin bagi Eva juga. Topik ini selalu berakhir sedih jika kami membahasnya, karena kami sama-sama tidak tahu, kalau perkataan kami benar jadi kenyataan atau tidak.

Berkali-kali aku bilang kalau aku akan pergi, entah aku akan benar-benar pergi atau tidak. Entah di dalam lubuk hatiku yang dalam, apakah aku benar-benar ingin pergi? Apakah menjauh darinya adalah yang terbaik? Apakah aku akan meninggalkannya suatu saat nanti? Aku selalu bilang akan bersamanya, tidak akan meninggalkannya sendirian. Bagaimana kalau aku ternyata tidak menepati kata-kata itu? Bagaimana kalau nanti aku pulang, dia tidak menjadi tujuanku lagi? Bagaimana kalau dia tidak menjadi tempat pulangku lagi? Atau dia tidak mau menjadi tempat pulangku?

Bagaimana kalau itu terjadi sebaliknya? Bisa jadi Eva yang akan pergi duluan. Dia yang akan meninggalkanku, dia tidak akan menemaniku lagi. Karena dari awal memang aku bukan tujuannya, aku tidak pernah jadi tempat pulangnya. Dan aku pun juga tidak tahu apakah dia mau menjadi tempat pulangku. Apakah dia akan bersedia dan menerimaku dengan lapang dada? Apa dia tidak akan keberatan? Apakah dia seperti Faris yang tidak suka orang yang rumit? Kalau dipikir-pikir aku tidak pernah izin padanya kalau aku ingin menjadikannya tempat pulang. Aku tidak pernah menanyakan padanya apakah dia bersedia untuk jadi tempat pulangku. Apakah hal semacam ini membutuhkan izin, ya?

“Siapa tau aku yang pergi duluan sebelum kamu. Pergi kan, nggak hanya tetap di bumi, Nan. ”
“Kalau begitu aku akan tunggu sampai kamu pulang. Kamu akan pulang, kan?”

Itu pun kalau aku tempat pulangmu,” kataku dalam hati. Eva tidak menjawab. Bodoh, aku bodoh. Buat apa aku bertanya begitu? Buat apa aku menunggunya pulang kalau aku saja bukan tempat pulangnya? Toh, dia tidak menganggapku sebagai tempat pulangnya, jadi tidak ada jaminan dia akan berpulang padaku, kan? Setelahnya aku bertanya lagi, “Tempat pulangmu apa, Eva? Atau siapa tempat pulangmu?”

“Siapa, ya? Yang mengerti aku sepenuhnya itu Tuhan. Kalau manusia ya seseorang yang bisa kupercaya. Tapi kalau teman dekat ya, suka curhat juga tapi belum terbuka banget,”
“Oh gitu. Atau mungkin tempat pulangmu adalah salah satu manusia di dunia ini?”
“Hmm.. biasanya ibuku.”
“Jadi tempat pulangmu itu ibumu, ya.”

Eva langsung meminta maaf setelah itu, entah kenapa, padahal dia tidak salah apa-apa. Atau mungkin karena raut wajahku sedih saat bertanya tadi? Atau karena dia tahu kalau ibuku bukan tempat pulangku? Dia kan, tahu kalau aku tidak begitu dekat dengan orang tuaku, apalagi ibuku. Entahlah.

“Kalau kamu gimana, Nan? Apa atau siapa tempat pulangmu?”

Eva bertanya seperti itu karena dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Aku sudah berkali-kali bilang kalau dia adalah tempat pulangku, kenapa masih bertanya lagi? Eh? Tapi sebenarnya aku tidak yakin kalau dia adalah tempat pulangku. Sejujurnya, aku masih bingung makna sebenarnya dari tempat pulang, walau sudah dijelaskan berkali-kali. Rumah yang aku anggap rumah ternyata tidak bisa dijadikan rumah, mungkin lebih tepatnya belum siap dijadikan rumah.

Pada akhirnya aku hanya menjawab, “Aku nggak tahu tempat pulangku apa atau siapa. Mungkin memang nggak punya,”
“Tempat pulang kita itu Tuhan, Nan.”
“Berarti kalau aku belum menemukan tempat pulangku, lalu katamu tempat pulang kita itu Tuhan, berarti aku harus berpulang ke Tuhan alias meninggal?”
“Memang pada akhirnya kita akan meninggal, tapi kan tempat pulang itu juga bisa curhat atau bercerita ke Tuhan tentang masalah-masalah yang dihadapi di dunia.”

Benar, apa katanya benar. Namun tetap saja aku menyangkal perkataannya, “Tapi aku juga ingin punya tempat pulang selain Tuhan, walau memang sebaik-baiknya tempat pulang adalah ke Tuhan. Ya, seperti sekarang. Aku belum menemukan tempat pulangku dan belum tentu ada.”

“Aku? Aku bukan tempat pulangmu?”
“Kamu mau jadi tempat pulangku? Kamu bersedia? Nggak keberatan gitu?”
“Emangnya kenapa?”
“Ya, kan jadi tempat pulang seseorang itu nggak mudah. Kamu memangnya mau jadi tempat pulangku sedangkan tempat pulangmu sendiri adalah ibumu dan bukan aku?”

“Ya, kenapa? Tempat pulangku juga sebagian dari diriku. Yang bisa mengerti aku ya, diri sendiri.”

Lagi-lagi perkataannya benar.
“Tapi memangnya nggak keberatan untuk menampung segala ceritaku yang mungkin aja kamu nggak paham? Bersedia untuk jadi tempat pulangku kapan aja? Yakin ‘nggak apa-apa’? Yakin kalau kamu benar-benar ‘nggak apa-apa’ selama ini dan nggak merasa lelah untuk selalu dijadikan tempat untuk menampung ceritaku? Dibalik kata ‘nggak apa-apa’ bukannya selalu ada kata ‘tidak baik-baik saja’?”

Eva terdiam. Dia hanya mendengar ocehanku yang panjang ini. Tidak berani untuk menjawab. “Semua orang yang aku jadikan tempat pulang, pada akhirnya pergi. Entah pergi selamanya atau menghilang. Pasti akhirnya selalu buruk. Kalau aku jadikan kamu tempat pulang, terus pada akhirnya aku kehilangan kamu, lalu apa atau siapa lagi yang aku jadikan tempat pulang?”

“Aku nggak apa-apa. Aku tidak keberatan, Nan. Kenapa aku merasa lelah? Selama ini aku selalu mendengarkan ceritamu, walau aku nggak mengalami itu, tapi aku bisa mengerti. Dan juga kenapa aku meninggalkanmu? Bukannya kamu yang mau ninggalin aku?” Eva akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaanku setelah lama terdiam. Dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi, apa yang harus kujawab sekarang?

“Ya, mungkin aja kamu lelah dengan aku yang selalu negative thinking, overthinking, dan selalu banyak sisi buruknya. Aku kan, seorang gadis yang penuh dengan masalah di hidupnya, dan sekarang aku menjadikan kamu sebagai orang untuk berbagi keresahan. Nggak apa-apa? Kan, kamu juga punya masalah tersendiri yang belum tentu masalah itu kamu ceritakan ke aku. Karena aku bukan tempat pulangmu. ”

Aku melanjutkan perkataanku lagi, “Aku nggak mau pergi, Eva. Aku hanya ‘harus’ pergi suatu saat nanti, dan aku juga nggak mau ninggalin kamu. Tapi bukannya ada kemungkinan kalau kamu yang pergi menjauh karena muak sama sifatku yang banyak buruknya ini? Atau kamu hilang atau kita lost contact?”

Eva menenangkanku yang berbicara bertubi-tubi ini. Lihat, Nandyra kalau sudah begini pasti tidak bisa dihentikan. Aku pasti selalu mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang kebanyakan orang tidak bisa menjawabnya, namun berbeda dengan Eva. Dia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Ya, walau tidak semua, walau dia kebanyakan tutup mulut karena kalah berdebat denganku. “Lihat, sekarang aja Nandyra udah banyak nethink-nya. Gimana untuk ke depannya?”

Sadar gak, kalau pertanyaanku selama ini selalu negatif? Selalu berandai-andai sesuatu yang buruk? Aku selalu menanyakan pertanyaan yang tidak mungkin semua benar terjadi. Isi kepalaku selalu penuh dengan ekspektasi-ekspektasi yang membuatku terbebani. Selalu penuh dengan pikiran negatif yang harusnya tidak kupikirkan. Aku sadar akan hal itu, tapi aku tidak bisa menghentikannya. Aku tidak bisa mengontrol pikiranku yang penuh dengan pertanyaan ini.

“Lelah pun buat apa, aku juga nggak bisa mengubah sifat kamu atau orang lain, yang bisa mengubah kan, kalian sendiri. Jadi ya, asal pertemanannya sehat, nggak apa-apa. Aku juga suka nethink, tapi perlahan-lahan aku mulai mengontrol pikiranku. Agar tidak selalu berpikir negatif dan memperbanyak pikiran positif. Kamu juga pasti bisa mengontrol pikiranmu agar tidak penuh pertanyaan, Nan.”

Kenapa Eva selalu bisa berpikiran positif? Ya, nggak selalu sih. Tapi dia orang yang banyak berpikir positif, tidak sepertiku.

You’re a person who always thinks positively, unlike me. Nandyra yang selalu berpikir aneh-aneh tentang masa depan, Nandyra yang nggak pernah melupakan masa lalunya yang kelam, Nandyra yang banyak mengeluh soal pekerjaan atau yang lainnya. Nandyra yang banyak banget sifat buruknya, apa kamu akan betah menghadapiku untuk sekarang dan ke depannya? Nggak mungkin kamu selalu punya mood untuk mendengarkan ceritaku, nggak mungkin kamu siap menghadapi kerasnya hidupku, nggak mungkin kamu kuat selama ini dengerin ceritaku atau sahabatan sama aku, kan?”

“Aku tidak selalu berpikir positif, Nan. Aku bisa jadi sepertimu yang kebanyakan nethink. Tapi menurutku, kalau kita berpikiran negatif terus, nggak baik. Hidup kan nggak selalu tentang hal-hal negatif, ada banyak hal-hal yang positif, Nan. Hanya saja kamu belum menyadarinya. Kamu pasti bisa melalui hidupmu. Aku ada di sini untuk mendengar ceritamu. Kalau mood paling dari lingkungan, tapi namanya juga sahabat, suka duka harus dilewatin. Sebanyak apapun masalah sahabat kita, kalau mau cerita ya cerita aja, dia emang butuh orang untuk dengerin cerita dia.”

Kata-kata Eva menenangkanku, dari awal sampai akhir, perkataannya selalu benar. Perkataannya selalu positif, perkataannya selalu menenangkanku dari pikiran-pikiran jahat yang berkeliaran di kepalaku. Eva memberitahuku, bahwa setiap pertanyaan yang ada di kepalaku, belum tentu ada jawabannya. Karena nggak semua pertanyaan punya jawabannya. Karena memang ada pertanyaan yang sudah ditakdirkan nggak punya jawabannya. Tapi justru karena pertanyaan itu nggak ada jawabannya, hal itu menjadikan orang tersebut bisa membuat jawabannya sendiri. Karena jawaban tiap orang itu beda-beda, walau pertanyaannya sama.

Dari semua hal yang bisa jadi tempat pulangku, apa yang paling terbaik? Keluarga? Orang tua? Apakah orang tua bisa jadi tempat pulangku sebagaimana orang-orang lainnya? Atau Faris? Orang yang tidak penasaran akan apapun itu bisakah kujadikan tempat pulang? Atau lebih baik Eva saja? Selama ini kan, aku menganggapnya tempat pulang, jadi apa aku harus berpulang padanya? Aku masih ragu soal ini. Atau.. lebih baik aku pulang pada diriku sendiri? Seperti yang dikatakan Eva, yang bisa mengerti aku ya diri sendiri. Atau.. ke Tuhan saja?

Banyak pilihan yang bisa kujadikan tempat pulang, lalu apa yang harus kupilih? Mana yang paling terbaik dari segala pilihan itu? Apa harus kupilih semua? Apakah menentukan tempat pulang itu sesulit ini?

Sudah banyak waktu yang kupakai untuk memikirkan ini, berkali-kali aku kesulitan untuk memikirkan jawabannya. Mungkin menentukan tempat pulang itu tidak ada jawabannya, jadi apa jawabannya harus kutentukan sendiri?

Baiklah, aku sudah tahu.

Seperti yang sudah kubilang, bentuk dari tempat pulang tidak hanya satu. Bisa jadi beberapa orang dijadikan sebagai tempat pulang. Sebenarnya raga dan jiwa kita tidak sebenar-benarnya pulang ke satu tempat saja. Dan kita tak harus jadi diri sendiri saat di tempat pulang.

Karena tidak ada sesuatu yang betul-betul ‘benar’.

Keluarga, sebut saja orang tua. Bisakah kujadikan mereka tempat pulang? Jawabannya, bisa. Mereka bisa kujadikan tempat pulang walau dari dulu aku tidak pernah pulang pada mereka. Sebenarnya bisa-bisa saja kujadikan mereka tempat pulang, aku-nya saja yang tidak mau menjadikan mereka tempat pulang. Mungkin aku yang belum siap.

Mulai sekarang, aku akan menjadikan mereka tempat pulangku ketika aku bahagia. Kedengarannya egois, bukan? Ya, tentu aku akan berbagi kesedihanku, tapi tidak semua. Hanya beberapa kesedihan yang bisa kubagikan pada mereka. Sebenarnya sejak dulu, mereka selalu menjadi tempat pulangku ketika aku bahagia, tapi aku tidak menyadari itu. Walau alasanku bahagia bukan hanya karena mereka.

Mereka akan menjadi tempatku bercerita tentang hal-hal bahagia. Aku tak perlu menjadi diri sendiri saat bersama mereka, karena lebih baik aku yang menyesuaikan akan bersikap seperti apa di depan mereka. Dulu aku tertutup pada mereka, lalu apakah sekarang aku harus lebih terbuka? Jawabannya, tidak harus. Karena aku tidak perlu terbuka pada mereka, apalagi terlalu terbuka. Ada beberapa hal yang lebih baik disembunyikan. Aku pun tidak peduli jika mereka akan menyambutku dengan perasaan bahagia atau tidak, dengan lapang dada atau tidak. Yang penting, aku tahu kalau aku menjadikan mereka tempat pulangku ketika aku bahagia.

Faris, orang yang kusuka. Yah, walau aku memendam perasaan suka itu. Mungkin bagi orang-orang aku itu penakut, lemah, masa nyatain perasaan aja susah banget? Hei, bagi orang sepertiku, menyatakan perasaan itu sulit, apalagi dari dulu aku selalu memendam perasaan. Aku tak tahu sampai kapan aku akan memendam perasaan ini, mungkin selamanya? Iya, aku se-penakut itu. Aku takut kehilangannya, itu sebabnya aku memendam perasaan ini. Padahal nanti juga dia hilang, aku tahu kalau aku takkan selamanya sama dia. Entah dia tahu atau tidak perasaanku, aku tak peduli. Lantas, bisakah dia kujadikan tempat pulangku? Jawabannya, bisa saja.

Mulai sekarang, aku akan menjadikannya tempat pulangku ketika aku bahagia. Iya, seperti ke orang tuaku, tapi tak sama. Karena perasaanku pada orangtua dan pada Faris berbeda. Itu merupakan pilihanku untuk menjadikannya tempat pulang atau tidak, walau dia orang yang tidak ingin banyak tahu dan penasaran tentangku. Mungkin saja dia mau kujadikan tempat pulang, mungkin saja dia akan menerimaku. Karena aku selama ini selalu negative thinking, aku selalu berpikir kalau dia akan menolakku, kalau dia tidak penasaran tentangku, padahal belum tentu begitu. Aku tidak pernah menanyakan kebenarannya pada Faris.

Bagaimana dengan Eva? Dia kan memang tempat pulangku dari awal, dia adalah tempat pulang pertamaku di dunia. Tempat di mana aku bisa benar-benar pulang, tapi tidak seutuhnya. Aku seperti menjadi diriku sendiri saat bersamanya, tapi tidak seutuhnya. Karena masih ada yang aku sembunyikan darinya. Yah, seperti kataku tadi, beberapa hal memang lebih baik disembunyikan. Lalu, bisakah Eva tetap jadi tempat pulangku? Jawabannya, tetap bisa.

Selama ini aku hanya memandang sisi negatif dari kehidupan, namun sejak kenal Eva, aku mulai memandang sisi positif dari kehidupan. Aku jadi lebih positif, walau sifat negatifku masih lebih besar. Selama aku hidup, aku lebih banyak bersedih, namun sejak kenal dia, aku jadi lebih banyak bahagia. Aku seketika lupa apa itu kesedihan jika sedang bersamanya. Orang itu adalah satu-satunya yang sangat mengerti keadaan diriku melebihi diriku sendiri. Dia adalah sebagian dari diriku, jadi kalau dia hilang, aku juga ikut hilang. Kalau dia hilang, untuk apa aku hidup? Untuk apa aku tetap hidup kalau alasanku hidup saja tidak ada?

Selama ini aku selalu berpikir kalau aku tak punya tempat berpulang, padahal dia adalah tempat dimana aku pulang. Dia yang selalu menantiku pulang. Dia yang selalu menungguku berpulang padanya. Dia mau jadi tempat pulangku, jadi untuk seterusnya, dia akan tetap jadi tempat pulangku. Entah sampai kapan. Mungkin sampai ajal menjemput salah satu dari kami?

Tidak apa-apa jika dia tidak menganggapku tempat pulangnya, yang penting dia tahu, kalau aku menjadikannya tempat pulang. Aku akan menunggunya pulang walau aku bukan tempat pulangnya, walau aku bukan tujuannya.

Apa aku termasuk salah satu orang yang beruntung di dunia karena menemukan orang sepertinya? Apakah aku benar-benar pantas untuk punya seseorang sepertinya? Aku masih tak percaya kalau aku memiliki tempat pulang sepertinya.

Satu lagi. Kata Eva, tempat pulang itu bisa jadi diri sendiri. Karena yang bisa mengerti diri sendiri adalah kita. Tempat pulang kita adalah sebagian dari diri kita. Tempat di mana kita benar-benar bisa menjadi diri sendiri adalah ketika kita sedang sendiri. Dan juga kata Eva, tempat pulang kita itu Tuhan. Karena kita diciptakan dari awal untuk kembali ke Tuhan. Yang mengerti diri kita sepenuhnya itu Tuhan.

Bukan-bukan, aku tidak bermaksud menyuruhmu untuk berpulang ke Tuhan alias meninggal. Memang pada akhirnya kita akan meninggal, tapi maksudku Tuhan itu bisa dijadikan tempat pulang karena kita juga bisa bercerita ke Tuhan tentang masalah-masalah yang dihadapi di dunia.

Ya, aku akan menjadikan diriku sendiri dan Tuhan sebagai tempat pulangku. Begitupun juga Eva, Faris, dan keluargaku. Tempat pulang itu bisa jadi apa saja dan siapa saja.

Aneh ya, aku menginginkan tempat pulang yang sempurna, padahal tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Termasuk aku, Eva, dan semua manusia di bumi ini. Mungkin, tempat pulang itu tak harus sempurna, tapi harus yang baik. Dan aku berhasil untuk menemukan tempat pulang yang ‘baik’ untukku, kalau kamu?

Tempat pulang itu bisa jadi sebuah rumah, dan definisi ‘rumah’ tiap orang itu berbeda. Jadi, apa tempat pulangmu? Atau siapa yang jadi tempatmu berpulang? Kamu harus tahu tempatmu pulang, karena tujuanmu yang sebenarnya adalah ke sana.

— SELESAI —

Quotes tentang ‘Pulang dan Pergi’:

  1. “Hidup adalah perjalanan menuju pulang.”― silviamnque
  2. “Terkadang dalam perjalanan aku sulit menentukan, apakah aku sedang pergi atau pulang.”― Silviamnque
  3. “Pergilah ke tempat manapun yang ingin kau kunjungi di dunia ini, tapi jika kau lelah, pulanglah.”― nom de plume
  4. “Pulang bukan selalu hal yang membahagiakan bagi tiap orang.” ― Devania Annesya, Muara Rasa
  5. “Kau boleh lari dari kenyataan, asalkan tahu jalan pulang. Pergi dengan kekanakan, pulang dengan pendewasaan.” ― Fiersa Besari
  6. “Barangkali tidak ada yang benar-benar mengerti bahwa arti rumah sejatinya bukanlah sekadar tempat untuk pulang, melainkan siapa saja yang peduli.”― Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
  7. “Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya. Dulu kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhasil menemukannya, bahwa siapa pun pasti akan pulang ke hakikat kehidupan. Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan penting berikutnya yang menunggu dijawab. Pergi. Sejatinya, ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana?’.” ― Tere Liye, Pergi

Bonus picture of Nandyra:

--

--

Baby Julia
Baby Julia

Written by Baby Julia

sometimes sad endings are much better than happy endings, right?

No responses yet